Laman

Jumat, 21 Oktober 2016

Terusiknya 'Pintu Dewa'

Oleh : Zulfi Yanwar (AM 36.07.16)

Zulfi Yanwar, dalam Ekspedisi kecil di Sangiang Lawang.

“Selama hidup saya selama ini, saya telah menyaksikan serentetan evolusi teknologi. Akan tetapi tidak satupun diantaranya yang tidak membutuhkan watak yang baik dan kememapuan berfikir yang baik" (Bernard M. Baruch)

Bernard merupakan seorang filsuf sekaligus wirausahawan yang sangat hebat. Selama Bernard menjalani usahanya, ia sudah banyak menyaksikan dan menggunakan teknologi untuk kepentingan usahanya.

Menurut Bernard, tidak ada satupun teknologi yang tidak membutuhkan watak yang baik dan kemampuan berfikir yang baik dalam mempergunakan teknologi tersebut. Itu artinya setiap teknologi menuntut penggunanya untuk memiliki watak dan memiliki kemampuan berfikir yang baik dalam memanfaatkannya.


Akan tetapi kenyataan yang bisa ditemukan selalu membuahkan hasil yang berbeda-beda disetiap tempat yang berbeda dan waktu yang berbeda. Kampung Sangiang Lawang menjadi saksi akan ketidakseimbangan antara teknologi dengan dengan watak yang baik tersebut.

Kami melakukan ekspedisi kecil pada 5 Juni 2016 lalu di kawasan Sangiang Lawang, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat. Eksploitasi yang terjadi memang “sangat menguntungkan” jika ditilik dari segi ekonomi dan kehidupan, akan tetapi hal ini seakan menjadi pedang bermata dua yang memiliki catatan kelam dalam perjalanannya. Keuntungan yang didapat dari hasil eksploitasi tidak setimpal dengan kerusakan yang disebabkan.


Kampung Sangiang Lawang yang terletak di kawasan Karst Citatah-Rajamandala tersebut merupakan salah satu daerah yang mengalami permasalahan alih fungsi lahan. Menurut penuturan Bapak Supriatna yang merupakan Ketua RT setempat, daerah Sangiang Lawang awalnya diperuntukkan sebagai kawasan konservasi.

"Namun kawasan ini justru berkembang sebagai kawasan penambangan kapur,” ujarnya saat kami temui pada awal Juni 2016.

Semakin meluasnya jangkauan perusahaan penambang kapur menyebabkan persoalan konversi lahan diarea pertanian menjadi area eksplorasi tambang. Perluasan tersebut diperkuat melalui penerbitan Surat Izin Penambangan Daerah (SIPD).

Hal ini memperumit persoalan krisis ekologi di Kampung Sangiang Lawang tak kunjung usai. Banyak cerita-cerita menarik mengenai Sangiang Lawang yang perlahan hilang terhapus kerusakan alam yang menggerogotinya. 

GOA CIKARACAK

salah satu cerita menarik adalah Sanghiang Lawang dengan Goa Cikaracaknya. Ada mitos dibalik nama dan keberadaannya. Sangiang berasal dari kata “Sanghyang” yang dalam bahasa indonesia berarti dewa. Sementara lawang dalam bahasa indonesia berarti pintu atau lubang.

sehingga secara harfiah sangiang lawang diartikan sebagai lubang/pintu dewa. Hal ini sejalan dengan fakta yang dapat ditemukan diwilayah Sangiang Lawang terdapat banyak lubang gua yang mungkin menjadi latar belakang penamaan wilayah Sangiang Lawang ini.

Sangiang Lawang yang sejatinya merupakan wilayah konservasi kawasan karst Citatah-Rajamandala memiliki bentang alam yang sangat indah. Kolaborasi perbukitan hijau dengan batuan-batuan yang mencuat dari dalam tanah serta gua-gua yang memiliki keindahannya tersendiri, menambah kesan bahwa ia memang tempat tinggal para dewa.

Salah satu gua yang terdapat di wilayah Sangiang Lawang adalah Goa Cikaracak. Bagi masyarakat tataran sunda tentu sudah tidak asing dengan kata 'Cikaracak'. Ada pribahasa sunda terkenal 'Cikaracak ninggang batu, laun-laun jadi legok', yang jika didefinisikan secara etimologi berarti 'tetesan air menimpa batu pelan-pelan mejadi lubang'.

Dalam kenyataanya merupakan suatu kebenaran jika tetesan air ini mengakibatkan lubang pada suatu batu yang keras sekalipun. Gua yang terbentuk dari hasil desakan air menjadi sebuah gua yang sampai saat ini selalu meneteskan air melalui tembok dan ornamen gua ini, hal tersebut menjadi latar belakang penamaan gua Cikaracak ini.

Adapun Gua Cikaracak merupakan gua horizontal yang didalamnya masih memiliki beberapa ornamen indah yang hingga saat ini masih hidup (ornamen hidup).

Keindahan goa cikaracak dari dalam, laksana 'Stairway to heaven'. Suguhan keindahan tersebut bisa dinikmati saat pagi hingga menjelang siang hari.

Namun sangat disayangkan, 'Pintu Dewa' terusik dengan perbuatan tangan-tangan tak bertanggung jawab. Di dalam goa Cikaracak juga kami temukan sampah sisa dari kegiatan manusia tak bertanggung jawab. Sejumlah sampah seperti botol dan kaleng bekas minuman ringan kami jumpai berada di dalam goa.


Sangiang Lawang dan Pertambangan

Persoalan yang terjadi di Sangiang Lawang juga tidak hanya sebatas krisis ekologi saja, “Kampung Sangiang Lawang memang pernah terjadi kontroversi antara masyarakat pribumi dengan perusahaan penambangan“ Ujar bapak Supriatna.

Isu-isu yang mencuat saat itu bahkan pernah membuat warga akan menutup aktifitas kegiatan penambangan di Desa Sangiang Lawang. Masalah pengerusakan bentang alam, hilangnya mata air Sangiang Lawang, semakin buruknya akses jalan, kecelakan penambangan yang mengkhawatirkan serta polusi suara yang bising menganggu warga setempat menjadi latar belakang terjadinya singgungan antara warga dengan pihak perusahaan.


Kabarnya saat ini persoalan kontroversi tersebut sudah berhasil diselesaikan. Pihak perusahaan yang awalnya enggan untuk berkonsolidasi dengan warga, akhirnya bersedia melakukan beberapa kesepakatan. Diantaranya yaitu bahwa perusahaan  harus memiliki izin opersional yang jelas dan benar, perusahaan harus menyediakan lahan pekerjaan untuk warga setempat, perusahaan bersama warga memperbaiki akses jalan,perusahaan pertambangan juga membuat akses air untuk warga setempat.

warga memang mendapatkan dampak positif dari kesepakatan itu, seperti perbaikan ekonomi dengan dipekerjakan (meski sebatas pekerja kasar) oleh perusahaan penambang, pembangunan akases jalan, air, dan fasilitas umum yang ditopang perusahaan penambang.  

Namun tidak dipungkiri, dampak negatif juga terlahir dari kondisi tersebut. Warga yang selama ini menggantungkan hidup pada bidang lahan pertanian kehilangan sebagian besar lahan subur. Sumber air juga tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan pertanian, sehingga penghasilan petani menurun.


Warga juga tidak dapat berbuat banyak dalam menghadapi polusi suara yang datang dari ledakan-ledakan penghancur batu dan mesin-mesin besar yang beroperasi. 

Kondisi yang sebenarnya cukup memprihatinkan, dan bukan tidak mungkin akan menjadi efek domino dikemudian hari nanti.

Alam bukanlah sesuatu yang bisa dilawan oleh manusia, manusia perlu menjaga alam agar tetap lestari, alam bukan sebagai warisan dari nenek moyang akan tetapi alam adalah  titipan dari anak cucu dimasa depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar