Laman

Rabu, 30 Desember 2015

TULIS DAN SEBARKAN!

Oleh: Agung Rubiyanto
MC 20 218 02 PBT

Orang boleh pandai setinggi langit, tetapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian
(Pramoedya Ananta Toer)

Kutipan kaliman Pramoedya Ananta Toer di atas secara jelas menggambarkan bagaimana pentingnya menulis. Di era informasi yang semakin deras sekarang ini, menulis tidak lagi menjadi monopoli satrawan, wartawan, atau penulis jurnal ilmiah. Menulis dilakukan siapa saja, seorang dokter menulis, ibu rumah tangga menulis, pensiunan menulis, petani menulis, anak presiden menulis, semua orang menulis!

Cobalah kita cek blog-blog yang berseliweran di dunia maya, hampir semua orang, dari semua kalangan dengan beragam profesi, semua menulis! Ada yang menulis sesuai bidang ilmunya masing-masing, misalnya seorang dokter yang menulis tentang ilmu-ilmu kedokteran populer di blognya dan twitter (micro blog) atau seorang praktisi pertanian yang menulis dalam blog-nya tentang tips-tips bertani dan bercocok tanam, atau ibu rumah tangga yang memilki hobi memasak yang menulis resep-resep masakan dan tips-tips di dapur dsb. Atau banyak juga blog-blog yang menulis tentang tema-tema sehari-hari atau sekedar lucu-lucuan tapi memiliki ribuan pembaca bahkan jutaan, seperti contohnya blog populer milik Raditya Dika.


Bagaimana dengan mahasiswa? Tentu saja seorang mahasiswa harus bisa menulis dan diwajibkan menulis. Setidaknya ketika menjadi mahasiswa ada dua jenis tulisan yang pernah dibuat oleh seorang mahasiswa, makalah dan skripsi. Sukur-sukur kalau mendapatkan dosen kreatif yang menugaskan mahasiswanya untuk menulis dan mengirimkannya ke koran-koran yang apabila naik cetak, nilai A jadi jaminan. Sayangnya kegiatan tulis menulis hanya sebatas untuk kepentingan akademis semata. Dan ketika tidak berstatus mahasiswa kegiatan menulis pun hilang.

MENULIS BAGI (ORGANISASI) PECINTA ALAM

Lalu bagaimana dengan Organisasi pecinta alam? Pentingkah menulis dan mempublikasikannya sehingga bisa dibaca oleh puluhan, ribuan bahkan jutaan orang diluar sana?

Pertanyaan yang saya coba alamatkan pada Mahacita.  Bagaimana Mahacita memandang kegiatan jurnalistik selama ini?

Saya rasa kegiatan jurnalistik atau tulis menulis baru sampai pada penulisan laporan perjalanan untuk kepentingan mendapatkan nomor keanggotaan organisasi. Yang akhirnya menjadi buku-buku laporan perjalanan yang tebal yang tebalnya mungkin melebihi kitab suci, dan teronggok rapih dan berdebu di rak-rak buku dalam sekretariat. Mungkin itu pula yang terjadi di kebanyak organisasi pecinta alam atau mungkin lebih parah!

Mahacita, organisasi pecinta alam yang berada di bawah naungan Universitas Pendidikan Indonesia. Mahacita yang berdiri hampir 4 dekade dan berkegiatan aktif di bidang kepecintaalaman, melakukan perjalanan ke gunung-gunung, sungai, tebing dan gua di seluruh Indonesia, pernah manjadi tuan rumah TWKM pertama dan yang ke 24, melakukan Ekspedisi Borneo di medio 80-an, Ekspedisi “Jaka Tingkir” di awal 80-an, dsb. Namun sudah sejauh manakah Mahacita menorehkan namanya dalam sejarah melalui sebuah tulisan yang diketahui khalayak?

Tidak perlu repot menjawabnya, hanya sebagai ilustrasi, beberapa hari yang lalu saya berselancar di dunia maya dan mengetik kata “sejarah mahacita” di mesin pencari. Dan apa yang saya dapatkan? Tak ada satupun situs yang membahas tema tersebut, malahan justru membahas sejarah organisasi pecinta alam yang bernama sama di Sulawesi sana (Mahacita Galawise). Atau ada juga “chipstory” dari pemilik akun twitter @kabarpetualang yang lebih banyak membahas tentang sejarah TWKM, asal muasal, di situ disebutkan Mahacita sebagai tuan rumah TWKM pertama tahun 1989 dan akan kembali digelar TWKM ke 24 Tahun 2012 (chipstroty ini di publish sebelum perhelatan TWKM ke 24 tahun 2012).

Bayangkan! Mahacita sebagai organisasi pecinta alam yang sudah berdiri hampir 4 dekade akan tetapi tidak memiliki “jejak” di dunia maya, yang notabene adalah media yang paling mudah untuk di akses khlayak. Lucu sekaligus ironi. Mungkin “kasus” seperti ini juga hal yang lumrah terjadi di organisasi-organisasi pecinta alam lainnya.

PELATIHAN JURNALISTIK

Berangkat dari kegelisahan akan pentingnya menulis, pada tanggal 24 Desembar 2015 digelarlah kegiatan “Pelatihan Jurnalistik Alam bebas dan pengenalan Zero Waste”. Kegiatan ini merupakan rangkaian program kerja dewan pengurus XXV Mahacita, dengan peserta pelatihan merupakan internal anggota Mahacita.


Foto oleh : Leni Mahyuni (MC 25.282.06 BGT)
Kegiatan pelatihan ini di fasilitasi oleh Bu Siska Nirmala Aka. Pitung (MC 24 275 06 SDS), anggota Mahacita dan wartawan harian Pikiran Rakyat yang bertugas di Ibukota.

Pelatihan di mulai dengan me-review blog dan website yang dimiliki oleh sesama organisasi pecinta alam lain. Dilanjutkan dengan mengenali berbagai jenis tulisan yang dicomot dari berbagai sumber, untuk kemudian peserta bersama-sama belajar membedakan jenis-jenis tulisan.

Dan muara dari kegiatan ini adalah pengenalan tulisan dari seorang tokoh yang erat sekali dengan kegiatan alam bebas, pecinta alam dan penulis (yang kebanyakan tulisannya) bertema kegiatan alam bebas, Norman Edwin. Peserta pelatihan diajak belajar melalui tulisannya yang memiliki gaya ‘santai” namun “mengena”. Meski tulisannya ditulis dan di publish di koran-koran pada era 80-an namun masih terasa “up to date” dan relevan dengan kondisi kekinian.

foto oleh : Wage Raka Pratama (MC 24.286.07 SDS)
Tulisan Norman Edwin yang dikupas diambil dari buku yang berjudul “Norman Edwin: Catatan Sahabat Sang Alam”. Ini menjadi gong dari kegiatan pelatihan jurnalistik hari itu.

Setelah itu pelatihan beralih ke agenda kedua: pengenalan zero waste. Tiga jam berlalu tanpa terasa dari lepas dzuhur sampai adzan ashar berkumandang hari itu.


MULAILAH MENULIS

Lepas pelatihan, muncul pertanyaan dibenak “Seberapa penting organisasi pecinta alam harus “menulis” atau bahasa kerennya “melek jurnalistik”?”

Ini pertanyaan yang harus di jawab bukan oleh saya, tapi oleh seluruh pecinta alam dengan mantap. Karena jawaban dari pertanyaan ini akan menentukan kemana organisasi pecinta alam akan melangkah.

Sebelum menjawab marilah kita sedikit mengulas apa itu “jurnalistik” dan apa itu “pecinta alam”. Secara etimologi (Bahasa) jurnalistik berasal dari kata jurnal yang berarti catatan, dan kata jurnal menjadi jurnalistik yang berarti kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan catat mencatat yang tujuannya untuk disampaikan ke orang banyak.

Karena menulis merupakan media jurnalistik paling awal sebelum ditemukan alat perekam, kamera foto dan kamera film, maka menulis bisa dibilang hal yang utama dalam bidang jurnalistik. Adapun dengan ditemukannya alat perekam, kamera foto dan kamera filmmaka akhirnya dunia jurnalistik semakin berkembang.

Jadi kegiatan menulis, menurut saya, adalah yang paling pokok dalam jurnalisitik dan merupakan keterampilan yang harus dimilki pertama kali di bidang jurnalistik sebelum menguasai fotografi, kamera film, dsb.

Adapun mengutip Onong U. Effendi, dia menggambarkan dengan lugas jurnalistik sebagai teknik mengelola berita sejak dari mendapatkan bahan sampai kepada menyebarluaskannya kepada khalayak.

Lalu apa pecinta alam? Secara etimologi pecinta alam adalah orang yang mencintai alam, secara harfiah kan artinya begitu saja. Namun secara istilah pecinta alam memiliki makna yang beragam, pada kesempatan ini ijinkanlah saya untuk tidak mengutip siapa-siapa namun memberi arti tersendiri (jangan protes!) pada kata pecinta alam.

”pecinta alam adalah sekelompok orang atau organisasi yang kebanyakan aktifitasnya dilakukan diluar ruangan dengan berbagai media yang ada di alam (sungai, gunung, hutan, pantai, tebing dan berbagai bentangan alam lainnya) dalam rangka mengenal dan menjaga alam. Secara umum, pecinta alam diketahui di pelopori oleh kelompok Wanadri dan Mapala di tahun 60-anyang sampai saat ini bisa dibilang menjadi role model pecinta alam di Indonesia. Organisasi pecinta alam mulai menjamur di tingkat kampus di tahun 70-an dan mulai berkembang skill dan teknologi di bidang penjelajahan alam di tahun 80-an dan 90-an terus sampai dengan sekarang”

Tapi kalau mau memaknai apa itu pecinta alam, coba lihatlah kode etik pecinta alam yang ditetapkan di Ujung Pandang pada Pada Gladian Nasional ke-4. Pada poin kedua: “memelihara alam beserta isinya serta menggunakan sumber alam sesuai kebutuhannya”.

Poin ini setidaknya merupakan menjadi rujukan pecinta alam di Indonesia dalam menentukan misi organisasi.
Nah mari kita lihat kan benang merahnya? Pecinta alam, baik itu yang ada di sekolah, di kampus, atau umum bisa dibilang memiliki misi sama yaitu salah satunya menjaga lingkungan sekitar, baik itu lingkungan alam maupun lingkungan sosial yang notabene tempat bermain dan tempat belajar sesuai dengan kode etiknya. Visi boleh berbeda tetapi misinya sama menjaga kelestarian alam.

Nah misi menjaga kelestarian alam itu bisa diaplikasikan dengan kegiatan apa saja? Contoh paling pertama dan mudah adalah upaya pencegahan, misalnya memberi contoh kepada masyarakat umum, pendaki pemula/remaja bagaimana pendakian yang safety dan tidak “nyampah” digunung, atau kampanye tidak buang sampah ke sungai, kampanye zero waste, dsb.

Selanjutnya selain pencegahan bisa juga langsung dengan aksi, aksi bersih sungai, bersih gunung, pembagian kantong “eco green” (untuk mengurangi konsumsi kantong plastik), mengolah sampah organic dengan melakukan komposting dsb. Fase berikutnya adalah kegiatan advokasi, contohnya kegiatan untuk mendorong aparat pemerintah untuk menindak pelakuindustri baik yang sembunyi-sembunyi ataupun terang-terangan, contohnya kampanye yang dilakukan greenpeace Indonesia secara viral di medsos pada kasus pencemaran sungai cihaur dan cikijing.

Dimana peran jurnalistik dalam konteks usaha pelestarian alam yang dimotori oleh organisasi pecinta alam? Apabila kita jeli membaca di paragraf-paragraf sebelumnya mungkin kita sudah bisa menebak kemana arah tulisan saya selanjutnya. Ya, media massa saat ini tidak lagi dikuasai oleh pemilik grup media besar sebagai produsen informasi. Setiap orang, organisasi ataupun instansi-instansi bisa menjadi media yang “massif” apabila bisa di sajikan menarik baik secara tampilan dan konten, sehingga ratusan, ribuan dan bahkan jutaan orang dapat mengakses informasi. Sejurus dengan banyaknya orang melihat, sekali, dua kali dan berkali dapat menimbulkan “efek media”.

Apa itu efek media? Menurut Donald F Robert (Schramm dan Robert: 1990) “Efek media adalah perubahan perilaku manusia setela diterpa pesan media massa”.

Bayangkan apabila organisasi atau kelompok-kelompok pecinta alam memanfaatkan blog, salah satu media yang mudah dan berpotensi massif, untuk mengkampanyekan usaha pelestarian alam! Dan tersebar secara viral di jagad dunia maya dan bisa memberi “efek media” kepada masyarakat. Bukan tidak mungkin “awareness” masyarakat untuk sama-sama menjaga kelestarian alam dan lingkungan bisa tumbuh subur. Sehingga akan timbul budaya malu untuk membuang sampah di jalan, sungai dsb, atau budaya melaporkan kepada aparat ketika ada praktek-praktek perusakan alam/lingkungan.

Tulisan bahkan juga bisa menjadi senjata untuk mengritik para pelaku industri yang selama ini membuah limbah serampangan.

Jadi mari sama berjuang untuk menjaga tempat kita bermain dan belajar yaitu alam sekitar kita, melalui jurnalistik. Sulit dibayangkan usaha pelestarian alam bisa dilakukan oleh kelompok-kelompok pecinta alam tanpa melalui media. Karena jangankan untuk berkampanye, mengajak masyarakat untuk sama-sama menjaga sedangkan eksistensi organisasi saja nihil (seperti yang saya contohkan di paragraf-paragraf awal).

Atau memang kita memilih tidak peduli? Dan lebih memilih cara mudah, naik gunung, berfoto selfie, unggah di medsos dan “nol pesan” alias tanpa pesan apapun. Kalau begitu mari kita sama-sama mempertanyakan “gelar” pecinta alam yang terlanjur melekat pada diri kita.

Akhir kata: “Ayo kita menjelajahi negeri  Indonesia kita yang indah ini, tuliskan dan sebarkan!!!”

Jakarta, 30 Desember 2015

8 komentar: